Monday, September 23, 2019

Antologi 15 SGSI (Antologiku yang Tak Terselesaikan)


Mengikuti kelas antologi 9 sampai sekarang di kelas antologi 15, merupakan sebuah perjuangan untuk melatih dan membiasakan diri menulis sesering mungkin. Meski saya mengikuti beberapa kegiatan dalam waktu bersamaan, namun semangat untuk menyelesaikan tugas kelas antologi tetap ada. Walau terkadang beberapa kali terlintas “ah, untuk kali ini istirahat dululah”. Namun, rasanya itu hal yang aneh. Kenapa menulis harus butuh istirahat ? Padahal menulis itu sebenarnya bisa sebagai salah satu kegiatan untuk beristirahat.

Untuk saya menulis dapat menjadi salah satu pilihan istirahat dari rutinitas yang dijalani setiap hari. Sembari menumpahkan semua yang sedang dirasakan. Apakah itu perasaan bahagia, sedih dan marah. Dan yang menarik, menulis mampu meninggalkan sebuah karya yang nanti dapat saya baca kembai berulang-ulang di masa depan.

Kembali ke kelas antologi. Kelas-kelas antologi itu akhirnya mampu saya selesaikan, kecuali antologi 15. Sedih ? Tentu. Padahal di awal kelas antologi saya telah berkomitmen untuk menyelesaikan kelas ini. Namun, tugas pada pertemuan ketiga membuat saya melanggar komitmen yang telah saya buat.

Pada akhir pertemuan ketiga Master Eka meminta sahabat untuk membuat minimal tiga sikap yang telah dilakukan kepada guru yang akan membuat guru merasa kesal, marah dan lainnya. Sebagai pribadi yang tertutup dan sering berharap orang lain tak pernah melihat atau menganggap saya ada di sana, tentu saja keseharian yang saya jalani sangat standar. Sehingga butuh waktu sehari lebih untuk mengembalikan kilasan-kilasan memori semasa menempuh pendidikan dulu. Di saat memori itu telah kembali dan ide telah terkumpul dan siap untuk ditulis dan dikirim ke kelas, waktu pengumpulan telah lewat. Kecewa, hanya itu yang dapat saya rasakan. Malu juga sedikit muncul ketika teman sesama penulis antologi SGSI menanyakan “Sudah kirim naskah ?”. Waduh.

Meski tidak ikut seleksi untuk tema naskah di antologi 15 dan tidak mendapatkan kata bungkus dari master. Dan sudah dipastikan saya tidak dapat menyelesaikan antologi 15 SGSI. Namun, saya bertekad tetap membuat tulisan untuk antologi 15 dan cukup senang karena tulisan itu dapat saya bagi di blog ini, bukannya di buku antologi SGSI. Sisi positif dari kegagalan ini adalah saya dapat kembali menulis di blog yang sudah beberapa waktu saya tinggalkan. Jadi, selamat menikmati.





BELAJAR MEMAHAMI DARI SUDUT YANG BERBEDA


Setiap orang yang pernah merasakan belajar dari guru, tentunya pernah membuat guru merasa kecewa atau tidak suka dengan tingkahnya yang keluar dari aturan yang telah disepakati. Begitupun saya. Meski butuh waktu seharian lebih untuk mengingat kembali kenangan-kenangan tersebut. Berikut tiga hal yang pernah saya lakukan sehingga saya mendapatkan teguran dari guru.

Yang pertama, kejadian ketika saya duduk di bangku kelas 3 SMP.Walaupun jam istirahat telah habis dan kami sedang menunggu guru untuk masuk ke kelas, keinginan untuk bermain masih ada. Saya dan teman sebangku berencana bermain perang-perangan di selembar kertas. Kami mulai mempersiapkan, mulai dari kertas, menggaris kertas menjadi dua,  sampai menggambarkan rumah dan prajurit di bagian kertas masing-masing. 

Persiapan kami selesai ketika guru sudah berdiri di depan kelas untuk memberikan materi hari itu. Bukannya menyimpan kertas tersebut dan mulai menyimak pelajaran, kami malah tetap melanjutkan bermain. Padahal kami duduk di bangku paling depan. Untuk memulai permainan kami melakukan suit terlebih dahulu. Di sinilah akhirnya kami kena akibatnya. Guru melihat kami melakukan suit tepat di hadapan beliau. Jika kami di hukum karena sikap kami tersebut, saya rasa  itu sudah sepantasnya. Tetapi, guru kami hanya bertanya “ini sedang apa ?” sambil menatap kami. Meski hanya pertanyaan singkat dan sebuah tatapan, namun malunya terasa sampai sekarang. Hanya sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban dan sebuah tatapan, ternyata mampu membuat saya menyadari kesalahan yang sedang saya lakukan.

Kejadian kedua ketika saya di kelas 1 SMA. Saya sudah merasa bahwa mata saya mulai bermasalah. Meskipun saya sudah duduk di barisan paling depan di kelas, tetapi saya tetap tidak dapat melihat dengan jelas tulisan guru yang ada di papan tulis. Yang paling sulit saya rasakan ketika pelajaran matematika. Guru meminta kami selalu memperhatikan ke papan tulis ketika beliau sedang menjelaskan soal. Agar tidak kena marah maka saya memperhatikan papan tulis tersebut meskipun saya tidak dapat melihat apa yang sedang ditulis. Ketika kami disuruh mencatat penjelasan yang telah ditulis guru di papan tulis, tentunya saya tidak bisa melakukan itu. Akhirnya saya hanya bisa menunggu teman selesai menulis agar saya dapat menyalin catatan teman. Belum selesai saya menyalin catatan teman, guru kembali mnerangkan pelajaran. Dan  kembali saya harus memperhatikan papan tulis yang dipenuhi tulisan buram tersebut. 

Setelah beberapa waktu, sudah dapat dipastikan saya ketinggalan banyak catatan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menyalin catatan teman ketika guru menjelaskan. Nah, di sini saya mendapatkan teguran dari guru. Karena saya menulis ketika beliau menjelaskan. Saya tidak berani untuk menyampaikan alasannya. Barangkali di sana kesalahan saya. Saya tetap bertahan dalam keadaan seperti itu, sampai akhirnya saya mendapatkan nilai merah di rapor untuk mata pelajaran matematika. Karena nilai rapor yang merah akhirnya saya dapat menjelaskan kepada orang tua tentang mata saya yang bermasalah. Dan akhirnya mendapatkan sebuah kacamata. Ada hikmah untuk semua kejadian. Termasuk nilai merah di rapor. Sebelumnya orang tua saya tidak percaya jika mata saya bermasalah sampai melihat nilai rapor yang saya dapatkan. Barulah mereka mau mengantarkan saya untuk memeriksakan mata.

Kejadian ke tiga ketika saya seorang mahasiswa. Sebelumnya saya tak pernah berani untuk tidak ikut sebuah perkuliahan tanpa alasan yang jelas. Entah kenapa, satu kali itu saya dengan sengaja tidak masuk kelas salah satu mata kuliah yang saya anggap sulit. Sulit memahami materi dan juga sulit memahami penjelasan dosen. Saya dan beberapa teman memilih duduk di depan perpustakaan sampai jam kuliah untuk mata kuliah tersebut habis.  Sungguh sikap yang sangat mengecewakan dari saya. Karena yang rugi adalah diri saya sendiri. Dan sebuah kebetulan, ternyata dosen yang mata kuliahnya tidak saya ikuti tersebut menjadi salah seorang dosen penguji untuk sidang skripsi saya. Dan Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar.  

Bersikap konyol dengan melanggar aturan sebagai seorang pelajar ketika seorang guru akan memberikan ilmunya, sebenarnya merupakan sikap yang akan merugikan diri sendiri. Bersyukur jika guru-guru masih peduli dengan sikap tersebut. Meskipun terkadang mereka harus memperlihatkan kepedulian itu dengan sikap yang seringkali membuat siswa menjadi salah paham. Di sini setiap siswa di harapkan dapat melihat kepedulian guru tersebut dari sudut pandang lain. Di mana semua guru mengharapkan agar siswanya menyadari kesalahan mereka dan mampu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Jika setiap siswa mampu melihat kepedulian guru terhadap sikap mereka yang salah, dan mampu untuk introspeksi diri maka mereka akan mendapatkan banyak hal baik. Bisa jadi hal baik tersebut akan mereka terima atau rasakan dalam waktu dekat. Namun tak jarang hal tersebut akan dirasakan setelah bertahun-tahun kemudian.

Guru tidak hanya seorang penyampai informasi, namun lebih dari itu. Guru adalah seorang pendidik, pengajar, motivator dan juga pemberi inspirasi. Dan saya menjadi seorang guru matematika, karena terinspirasi oleh seorang guru matematika saya di SMA. Semoga guru-guru di manapun berada selalu diberi kesehatan dan kesabaran dalam mendidik, mengajar, memotivasi dan menginspirasi  siswa mereka.

Erlina Susanti, Sungai Pua





No comments:

Post a Comment