Mengikuti kelas antologi 9 sampai sekarang di kelas antologi
15, merupakan sebuah perjuangan untuk melatih dan membiasakan diri menulis sesering
mungkin. Meski saya mengikuti beberapa kegiatan dalam waktu bersamaan, namun
semangat untuk menyelesaikan tugas kelas antologi tetap ada. Walau terkadang
beberapa kali terlintas “ah, untuk kali ini istirahat dululah”. Namun, rasanya
itu hal yang aneh. Kenapa menulis harus butuh istirahat ? Padahal menulis itu
sebenarnya bisa sebagai salah satu kegiatan untuk beristirahat.
Untuk saya menulis dapat menjadi salah satu pilihan
istirahat dari rutinitas yang dijalani setiap hari. Sembari menumpahkan semua yang
sedang dirasakan. Apakah itu perasaan bahagia, sedih dan marah. Dan yang
menarik, menulis mampu meninggalkan sebuah karya yang nanti dapat saya baca
kembai berulang-ulang di masa depan.
Kembali ke kelas antologi. Kelas-kelas antologi itu akhirnya
mampu saya selesaikan, kecuali antologi 15. Sedih ? Tentu. Padahal di awal
kelas antologi saya telah berkomitmen untuk menyelesaikan kelas ini. Namun,
tugas pada pertemuan ketiga membuat saya melanggar komitmen yang telah saya
buat.
Pada akhir pertemuan ketiga Master Eka meminta sahabat untuk
membuat minimal tiga sikap yang telah dilakukan kepada guru yang akan membuat
guru merasa kesal, marah dan lainnya. Sebagai pribadi yang tertutup dan sering
berharap orang lain tak pernah melihat atau menganggap saya ada di sana, tentu
saja keseharian yang saya jalani sangat standar. Sehingga butuh waktu sehari
lebih untuk mengembalikan kilasan-kilasan memori semasa menempuh pendidikan
dulu. Di saat memori itu telah kembali dan ide telah terkumpul dan siap untuk
ditulis dan dikirim ke kelas, waktu pengumpulan telah lewat. Kecewa, hanya itu yang dapat saya rasakan. Malu juga sedikit
muncul ketika teman sesama penulis antologi SGSI menanyakan “Sudah kirim naskah
?”. Waduh.
Meski tidak ikut seleksi untuk tema naskah di antologi 15
dan tidak mendapatkan kata bungkus dari master. Dan sudah dipastikan saya tidak
dapat menyelesaikan antologi 15 SGSI. Namun, saya bertekad tetap membuat
tulisan untuk antologi 15 dan cukup senang karena tulisan itu dapat saya bagi di
blog ini, bukannya di buku antologi SGSI. Sisi positif dari kegagalan ini adalah saya dapat kembali
menulis di blog yang sudah beberapa waktu saya tinggalkan. Jadi, selamat
menikmati.
BELAJAR MEMAHAMI DARI SUDUT YANG BERBEDA
Setiap orang yang pernah merasakan belajar dari guru,
tentunya pernah membuat guru merasa kecewa atau tidak suka dengan tingkahnya
yang keluar dari aturan yang telah disepakati. Begitupun saya. Meski butuh
waktu seharian lebih untuk mengingat kembali kenangan-kenangan tersebut.
Berikut tiga hal yang pernah saya lakukan sehingga saya mendapatkan teguran
dari guru.
Yang pertama, kejadian ketika saya duduk di bangku kelas 3
SMP.Walaupun jam istirahat telah habis dan kami sedang menunggu guru untuk
masuk ke kelas, keinginan untuk bermain masih ada. Saya dan teman sebangku
berencana bermain perang-perangan di selembar kertas. Kami mulai mempersiapkan,
mulai dari kertas, menggaris kertas menjadi dua, sampai menggambarkan rumah dan prajurit di
bagian kertas masing-masing.
Persiapan kami selesai ketika guru sudah berdiri
di depan kelas untuk memberikan materi hari itu. Bukannya menyimpan kertas tersebut
dan mulai menyimak pelajaran, kami malah tetap melanjutkan bermain. Padahal kami
duduk di bangku paling depan. Untuk memulai permainan kami melakukan suit
terlebih dahulu. Di sinilah akhirnya kami kena akibatnya. Guru melihat kami melakukan
suit tepat di hadapan beliau. Jika kami di hukum karena sikap kami tersebut,
saya rasa itu sudah sepantasnya. Tetapi,
guru kami hanya bertanya “ini sedang apa ?” sambil menatap kami. Meski hanya
pertanyaan singkat dan sebuah tatapan, namun malunya terasa sampai sekarang. Hanya
sebuah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban dan sebuah tatapan, ternyata mampu
membuat saya menyadari kesalahan yang sedang saya lakukan.
Kejadian kedua ketika saya di kelas 1 SMA. Saya sudah merasa
bahwa mata saya mulai bermasalah. Meskipun saya sudah duduk di barisan paling
depan di kelas, tetapi saya tetap tidak dapat melihat dengan jelas tulisan guru
yang ada di papan tulis. Yang paling sulit saya rasakan ketika pelajaran
matematika. Guru meminta kami selalu memperhatikan ke papan tulis ketika beliau
sedang menjelaskan soal. Agar tidak kena marah maka saya memperhatikan papan
tulis tersebut meskipun saya tidak dapat melihat apa yang sedang ditulis. Ketika
kami disuruh mencatat penjelasan yang telah ditulis guru di papan tulis,
tentunya saya tidak bisa melakukan itu. Akhirnya saya hanya bisa menunggu teman
selesai menulis agar saya dapat menyalin catatan teman. Belum selesai saya
menyalin catatan teman, guru kembali mnerangkan pelajaran. Dan kembali saya harus memperhatikan papan tulis
yang dipenuhi tulisan buram tersebut.
Setelah beberapa waktu, sudah dapat
dipastikan saya ketinggalan banyak catatan. Akhirnya saya memberanikan diri
untuk menyalin catatan teman ketika guru menjelaskan. Nah, di sini saya
mendapatkan teguran dari guru. Karena saya menulis ketika beliau menjelaskan. Saya
tidak berani untuk menyampaikan alasannya. Barangkali di sana kesalahan saya. Saya
tetap bertahan dalam keadaan seperti itu, sampai akhirnya saya mendapatkan
nilai merah di rapor untuk mata pelajaran matematika. Karena nilai rapor yang
merah akhirnya saya dapat menjelaskan kepada orang tua tentang mata saya yang
bermasalah. Dan akhirnya mendapatkan sebuah kacamata. Ada hikmah untuk semua
kejadian. Termasuk nilai merah di rapor. Sebelumnya orang tua saya tidak
percaya jika mata saya bermasalah sampai melihat nilai rapor yang saya
dapatkan. Barulah mereka mau mengantarkan saya untuk memeriksakan mata.
Kejadian ke tiga ketika saya seorang mahasiswa. Sebelumnya saya
tak pernah berani untuk tidak ikut sebuah perkuliahan tanpa alasan yang jelas. Entah
kenapa, satu kali itu saya dengan sengaja tidak masuk kelas salah satu mata
kuliah yang saya anggap sulit. Sulit memahami materi dan juga sulit memahami
penjelasan dosen. Saya dan beberapa teman memilih duduk di depan perpustakaan
sampai jam kuliah untuk mata kuliah tersebut habis. Sungguh sikap yang sangat mengecewakan dari
saya. Karena yang rugi adalah diri saya sendiri. Dan sebuah kebetulan, ternyata
dosen yang mata kuliahnya tidak saya ikuti tersebut menjadi salah seorang dosen
penguji untuk sidang skripsi saya. Dan Alhamdulillah semua berjalan dengan
lancar.
Bersikap konyol dengan melanggar aturan sebagai seorang
pelajar ketika seorang guru akan memberikan ilmunya, sebenarnya merupakan sikap
yang akan merugikan diri sendiri. Bersyukur jika guru-guru masih peduli dengan
sikap tersebut. Meskipun terkadang mereka harus memperlihatkan kepedulian itu
dengan sikap yang seringkali membuat siswa menjadi salah paham. Di sini setiap
siswa di harapkan dapat melihat kepedulian guru tersebut dari sudut pandang
lain. Di mana semua guru mengharapkan agar siswanya menyadari kesalahan mereka
dan mampu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Jika setiap siswa mampu melihat kepedulian guru terhadap
sikap mereka yang salah, dan mampu untuk introspeksi diri maka mereka akan
mendapatkan banyak hal baik. Bisa jadi hal baik tersebut akan mereka terima
atau rasakan dalam waktu dekat. Namun tak jarang hal tersebut akan dirasakan
setelah bertahun-tahun kemudian.
Guru tidak hanya seorang penyampai informasi, namun lebih
dari itu. Guru adalah seorang pendidik, pengajar, motivator dan juga pemberi inspirasi. Dan saya
menjadi seorang guru matematika, karena terinspirasi oleh seorang guru
matematika saya di SMA. Semoga guru-guru di manapun berada selalu diberi
kesehatan dan kesabaran dalam mendidik, mengajar, memotivasi dan menginspirasi siswa mereka.
Erlina Susanti, Sungai Pua
No comments:
Post a Comment